EMPAT tahun sebelum Raden Dewi Sartika lahir, ada sebuah nama wanita
puteri seorang Bupati Garut bernama Raden Ayu Lasminingrat yang sudah
fasih menulis buku untuk bacaan anak-anak sekolah. Ketika R. A. Kartini
lahir tahun 1879, Raden Ayu Lasminingrat sudah menerjemahkan dan
menerbitkan buku-buku yang dijadikan buku bacaan wajib di HIS,
Schakelschool, dan lain-lain, hingga akhir masa penjajahan Belanda.
Mengapa masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa Barat sendiri
merasa asing dengan nama R.A. Lasminingrat? Menurut pemerhati sejarah
dan budaya di kabupaten Garut, Deddy Efendie, TP. M. Hs, salah satu
unsur pers nasional dinilai memiliki andil menenggelamkan ketokohan
Raden Ajoe Lasminingrat. Ketokohan pendidikan R.A. Lasminingrat itu
selalu diabaikan sejak jaman, R. Mas Tirto Adisoerjo selaku tokoh pers
nasional (1904), yang saat itu Redaktur Kepala Soenda Berita, Putri
Hindia serta Medan Priayi,
Maka tidak salah jika nama R.A. Lasminingrat menjadi sebuah nama
asing yang terdengar di masyarakat khususnya di telinga murid-murid
sekolah mulai tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Pemerintah Kabupaten
Garut sudah mengusulkan agar R.A. Lasminingrat dijadikan pahlawan
Nasional sejak tahun 2009, namun sayang sekali hingga Presiden RI Susilo
Bambang Yudoyono membacakan penganugerahan gelar pahlawan kepada para
tokoh pada tanggal 10 Nopember 2011, nama RA, Lasminingrat belum
termasuk di dalamnya.
Sebuah “PR” besar bagi Pemkab Garut juga bagi keturunan serta
masyarakat Garut untuk terus berupaya memperjuangkan agar nama RA.
Lasminingrat ke depannya bisa dikukuhkan sebagai seorang Pahlawan
Nasional, mengingat jasa beliau sebagai pionir dunia pendidikan di
Indonesia.
Raden Ayu Lasminingrat lahir tahun 1843, putri seorang Penghulu
Limbangan dan Sastrawan Sunda yang terkenal pada zamannya, yaitu Raden
Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Setelah itu lahir pula dua orang
adik perempuan yang seibu se-ayah, yaitu Nyi Raden Ratnaningrum dan Nyi
Raden Lenggang Kencana. Dalam sebuah buku kajian tentang perjuangan
Raden Ayu Lasminingrat karya Prof. Dr. Hj. Nina Lubis, M. S., diutarakan
bahwa Raden Haji Muhamad Musa sangat memperhatikan pendidikan
anak-anaknya. Ia menghendaki puteri-puterinya yang berjumlah 17 orang
dari beberapa isteri itu, bersekolah di sekolah Belanda.
Oleh karena saat itu belum ada sekolah semacam itu di Garut, maka Raden Haji Muhamad Musa mendirikan sekolah Eropa (Bijzondere Europeesche School)
dengan menggaji dua orang guru Eropa. Di sekolah ini orang Eropa
(Belanda) dapat bersekolah bersama-sama dengan anak-anak pribumi, juga
anak laki-laki bercampur dengan anak-anak perempuan.
Alhasil, kemampuan Raden Ayu Lasminingrat dalam berbahasa Belanda
sangat fasih, bahkan Karel Frederick Holle, seorang administrator di
Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, memujinya. Pujian itu dinyatakan dalam
surat Holle kepada P. J. Veth, antara lain menyebutkan Bahwa: “Anak
perempuan penghulu yang menikah dengan Bupati Garut, menyadur dengan
tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari negeri
dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa
Sunda.” (Moriyama, 2005:244).
K. F. Holle memang sangat dekat dengan anak-anak Raden Haji Muhamad
Musa, termasuk dengan Lasminingrat, bahkan tak segan-segan, Lasmingrat
“nembang” di depan K. F. Holle, yang kadang dipanggil sebagai “Tuan
Kawasa” (Lubis, 1998). Peranan K. F. Holle dalam merevitalisasi bahasa
Sunda sangat besar, terbukti dengan menerbitkan buku-buku dalam bahasa
Sunda, memberikan dorongan kepada kaum menak untuk menuliskan
karya-karya mereka dan menerbitkannya. Dalam buku tersebut diceritakan,
Lasmingrat juga terlibat dalam “proyek” menyusun buku-buku pelajaran
Sunda dengan diberi biaya f. 1200 dari Pemerintah Belanda.
Oky Lasmini Sastrawiguna
Oky Lasmini Sastrawiguna
Post a Comment
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan.