Home » , , » Kemasyhuran “Garoet” Berharga “Dayeuh Pangirutan” (Bagian II-Habis)

Kemasyhuran “Garoet” Berharga “Dayeuh Pangirutan” (Bagian II-Habis)

Tamat pula riwayat bioskop “Tjikuraj”, “Tjung Hwa” (Sumbersari) dan “Garden”, terhempas badai industri perfilman nasional dekade 1990-an. Tetapi, bangunan LP (Lembaga Pemasyarakatan), dan “Pasar Ceplak” masih bertahan di tempat semula.
Lokasi pusat jajanan Garut di waktu malam yang menutup sebagian Jl Siliwangi itu, dulu berperan menghidupkan keberadaan sandiwara “Margaluyu”, dan Bioskop “Garden” (“Garut Theater”), di sebelah Gedung Nasional.
Kini, bioskop misbar berganti wajah Gedung Kesenian (Bale Paminton “Inten Dewata”). Kalaupun ada bioskop modern “Intan Plaza”, tetapi kurang berpamor. Banyak upaya pergerinjalan menata citra “Kota Intan” Garut, untuk menapak kejayaan masa lalunya.
Tetapi mengembalikan masa keemasan Garut, masih membutuhkan proses panjang. Terlebih, karena gelombang rintangan gejolak kondisi kekinian, acapkali mengguncang ketenangan Garut.
Sungguhpun begitu, Garut masih berdaya “Pangirutan”! Citra kepariwisataan daerahnya terhampar elok di berbagai tempat, seperti hotel dan pemandian Cipanas, Candi dan Situ Cangkuang, Situ Bagendit, Kampung Sampireun, Darajat Pas serta obyek wisata lainnya.
Kesaksian sejarah Garut pun mencatat, manakala kemasyhuran kota ini mengental dengan belasan hotel terpandang, yang bermagnet pemikat wisatawan mancanegara.
Sebut saja Hotel “Papandayan” di Jalan Kenari, yang difungsikan jadi Makodim 0611 Garut. Hotel “Belvedere” di Sukadana (asrama Sukadana), “Villa Dolce” di Jl Pramuka, yang berganti Gedung Pusat Pengkajian Islam.
Hotel “Malaju” dan Hotel “Kamojan” di kawasan Samarang. Keberadaan hotel itu mirip bungalow antik, dengan konstruksi rumah panggung. Pada masanya, Hotel “Bagendit” pun memiliki gengsi tersendiri.
Terbukti, hotel di depan Situ Bagendit (1936) itu, memagut kunjungan Soenan Pakoeboewono IX. Di atas lahan bekas hotel itu, dijadikan Kantor Kecamatan Banyuresmi. Pamor kepariwisataan Garut menguat, dengan keberadaan Hotel ”Ngamplang” di Kecamatan Cilawu, yang pernah jadi tempat istirahat aktor film legendaris dunia, Charlie Chaplin.
Jangan lupakan “Grand Hotel Tjisoeroepan”, di Kecamatan Cisurupan. Banyak wisatawan berkuda., menyusuri kaki gunung yang berbatas kecantikan bibir kawah Papandayan.
Pantas, jika sebelum tahun 1942, orang-orang Eropa menggelari Garut  dengan sebutan “Mooi Garoet”, atau Garut permai. Tragis, semua pesona alam Garut sirna, tersapu kecamuk Perang Dunia II. Wajah “Garut Pangirutan” memang “tinggal urut”!
Keutuhan pesona alami Garut, larut ke dalam riwayat. Tetapi di masa kepemimpinan Bupati Garut (alm) R Gahara Widjaya Soeria (1960-1966), kejutan sukses Garut tergelar dengan predikat “Kota Intan”. Selepas anugerah itu, sampai kini Garut harus bersaing dengan reputasi gemilang masa silamnya.
Problematika perkotaan Garut menajam tahun 1981. Pusat keramaian kota di jantung perkotaannya, menghamparkan areal terminal antarkota di Jl Pramuka. Lokasi itu jadi Kantor Disperindag dan KLH, seberang reruntuhan “Villa Dolce”.
Di sebelah utara, terminal oplet antarkecamatan, berubah jadi Kantor BPR/LPK Garut Kota dan PT Telkom.  Kondisi “Pasar Garoet”, yang menyumbat lalulintas Jl Guntur, diberatkan dengan pom bensin (SPBU) di depan Stasiun KA.
Duapuluh enam tahun setelah bergelar “Kota Intan”, problematika perkotaan Garut menuntut gerilya pelebaran kota. Garut tidak bisa lagi bergantung pada Jembatan Cimanuk, sebagai satu-satunya sarana penghubung ke perkotaan.
Derap pembangunan digencarkan ke kawasan utara di areal Ciawitali. Mungkin benar kata orangtua dulu,  bahwa jika sudah berderet tiga jembatan Cimanuk di Garut, itu pertanda datangnya akhir zaman!
Tiga jembatan, kini terbentang di atas Sungai Cimanuk (Jl Cimanuk, Jl Perintis Kemerdekaan dan Jl Sudirman), membuka pusat kota lama ke areal Ciawitali. Itu akhir zaman kusut, di wajah perkotaan Garut. Lokasi SPBU, terminal dan pasar induk, berpindah ke utara kota.
Kompleks perkantoran pun terhampar di kawasan baru Jl Pembangunan. Namun dinamika perkembangan zaman, tiada pernah henti menuntut Garut, untuk terbebas dari jerat kemelut pemerintahan dan perwajahan kotanya.
Luapan pedagang yang melukai keindahan perkotaan Garut, seolah tak pernah kenal dengan historis membanggakan di masa lampau. Apapun rintangannya, Garut harus mampu bercitra terpandang kembali dalam kondisi kekinian. (**)

Oleh: Yoyo Dasriyo (Wartawan senior film dan musik, Anggota PWI Garut)

Share this article :

Post a Comment

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan.

 
Copyright © 2011. GERBANG BERITA - All Rights Reserved