Pamor Garut pernah berkilau dengan kejayaan PTG (Pabrik Tenun Garut).
Pada zamannya, pabrik yang berlokasi memanjang di Jl Guntur ini
menguatkan citra Garut sebagai “Dayeuh Pangirutan”, hingga bergelar
“Kota Intan”.
Akan tetapi, tiada kejayaan tanpa batas. Reputasi gemilang penghasil
tekstil terbesar di kawasan Asia Tenggara itupun runtuh, terkubur
putaran masa. Gemuruh klasik mesin tenun di balik benteng tembok
pabriknya, sirna bersama batas kehidupan PTG.
Legenda pertekstilan Indonesia di Garut itu, tinggal cerita
kebanggaan warga setempat. Areal lokasinya yang berbatas Jl Cimanuk
(Leuwidaun), kini berganti rupa jadi pertokoan “Ramayana”.
Namun itu tidak akan memupus kesaksian sejarah keemasan PTG,
penghasil kain sarung “Cap Padi”. Sarung yang turut membarengi jasad
(alm) Komarudin alias Yang Chil Sung, serdadu Korea, saat menjalani
hukuman mati bersama dua serdadu Jepang, di lapangan “Kherkoff”, 10
Agustus 1949. (Baca kisah Yang Chil Sung disini)
Sosok bangunan PTG mencatat luas 3,5 hektare (ha), di atas hamparan
lahan seluas 10,5 ha. Sebagian lokasinya terpisah Sungai Cimanuk yang
membelah Kota Garut. Karenanya, di dalam kawasan pabrik itu terbentang
jembatan tangguh.
Lengkingan sirene dari mulut cerobong asap dapur pabriknya, setiap
hari kerja membangunkan warga Garut, hingga radius 10 km. Itu isyarat
masuk, istirahat dan pulang kerja para pegawainya.
Sungguh memilukan, dalam era 1980-an bunyi sirene harus berganti
dentangan lonceng besi tua, yang tergantung di pos jaga. Sirene yang
melengking panjang itu, memang cermin kejayaan PTG.
Pamor pabrik itu memudar, hingga kegiatan ketel uap pembangkit tenaga
bunyi sirenenya terhenti. Tamat sudah riwayat klasik PTG yang didirikan
8 Juni 1933, dengan nama NV PBW (“Preanger Bond Wevery”) pimpinan G
Dalenoord.
Di masa kekuasan Jepang, PBW berganti nama GSK (Garoet Syokoho Kozyo)
pimpinan K Abe J Matsumoto. Tetapi 1941, pabrik tenun itu kembali ke
tangan Belanda. 18 tahun kemudian, PBW jadi milik pemerintah RI, dan
berganti nama PTG “Ampera I” Garut (14 September 1964) yang ditangani
provinsi Jawa Barat.
Saat itu, PTG yang bergelar “Raksasa Tekstil Asia Tenggara” (1962), masih berpamor dalam dunia industri tenun di Tanah Air.
Tingginya kapasitas produksi unggulan PTG berupa, kain sarung “Cap Padi,” dan handuk, mampu menembus pasar Saudi Arabia. Pabrik ini mengalirkan kesejahteraan hidup ribuan karyawannya di Garut.
Tingginya kapasitas produksi unggulan PTG berupa, kain sarung “Cap Padi,” dan handuk, mampu menembus pasar Saudi Arabia. Pabrik ini mengalirkan kesejahteraan hidup ribuan karyawannya di Garut.
Bahkan, 10% warga Garut terserap sebagai tenaga kerja pabrik tenun
itu. Kesaksian beberapa mantan pegawai PTG menuturkan, pabrik itu mampu
jadi pertaruhan hidupnya. Mantan pegawai pabrik itu pun berbangga.
Mereka mudah pindah kerja, ke pabrik tenun lainnya.
“Bekas pegawai PTG itu selalu diminta untuk bekerja lagi di pabrik
tenun” cerita kebanggaan Emin (65) warga Kelurahan Pakuwon, Garut Kota.
Sebaliknya, untuk jadi karyawan PTG pun, tidak gampang.
Kondisi seperti itu berlangsung hingga tahun 1974, meski kapasitas
produksi mingguan PTG menurun sampai 35.000 potong kain sarung, 10.000
kain handuk dan 6.000 meter kain kerja. Di era1980-an, bayang kehancuran
merintang kelangsungan PTG. (Bersambung)
Oleh: Yoyo Dasriyo (Wartawan senior film dan musik, Anggota PWI Garut)
+ komentar + 1 komentar
Aku pernah memakai sarung cap PADI buatan PTG di tahun 1977 , iraha atuh di garut aya deui pabrik sarung, sok inget jaman bareto urang sunda jaya santosa
Post a Comment
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan.