Kapasitas PTG sebagai unit kerja PD Kerta Paditex Jawa Barat, tak
mampu lagi memenuhi misinya untuk penambah sumber pendapatan Pemprov
Jawa Barat. Kejayaan pabrik tenun legendaris itu, berbalik jadi
kegelisahan Pemprov Jabar.
PTG tidak mencapai target peningkatan produksi, jasa dan perdagangan
tekstil. Napas kehidupan pabrik tenun itu menyesak. Tindihan kerugian
jutaan rupiah, berlipat setiap bulan. Dalam gelombang persaingan yang
makin menajam, permodalan pun menyusut tergerus bermacam resesi.
PTG bangkrut! Dalam tahun 1985, kemungkinan untuk berproduksi, tak
bisa lagi dipaksakan, karena harga pokok lebih tinggi dari harga jual.
Kondisi makin memburuk dengan faktor ketuaan perangkat alat mesin tenun,
yang menciutkan kemampuan produksi.
Jumlah pegawai pun dirampingkan. “Waktu itu tersisa 380 dari 2.500
karyawan! 300 pegawai pabrik, 40 sekretariat direksi, dan 40 pegawai
Inpema (Induk Pencelupan Majalaya) Bandung” begitu yang pernah diungkap
Kepala Bagian Personalia PTG, (alm) H Sumiarwan.
Tragisnya, 90% ATM (Alat Tenun Mesin), dan mesin handuk dijual. ATM
yang semula 1.177 buah, tersisa 202 buah. Rumah dinas direktur di
seberang pabrik dan gudang, dikontrakan ke perusahaan swasta. Penjualan
asset perusahaan terus mengalir, sebagai solusi untuk pengadaan mesin
tenun baru.Namun, hasil penjualan kekayaan pabrik, masih juga tak
mencukupi kebutuhan.
Untuk kelangsungan perusahaan, terpaksa ratusan juta rupiah harus
dialirkan. Beban pesangon penghentian karyawan, pembayaran rekening
listrik, telepon, dan PDAM yang tidak digunakan, membuat kerugian kian
membengkak.
Oleh: Yoyo Dasriyo (Wartawan senior film dan musik, Anggota PWI Garut)
Post a Comment
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan.