Bupati Garut H.M. Aceng Fikri tak terima atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut yang mengusulkan adanya pemakzulan ke Mahkamah Agung, Jumat petang. Ia berencana menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung.
"Keputusan itu tak adil buat Bupati. Kami akan memohon PTUN untuk menyatakan keputusan itu cacat hukum, karenanya harus batal demi hukum, dan agar Dewan mencabut keputusan itu," ujar Ujang Suja'i Toujiri, kuasa hukum Aceng, di Hotel d'Batoe, Kota Bandung, Jumat malam, 21 Desember 2012.
Ujang menjelaskan, keputusan Dewan tak adil karena isinya cuma meniru keputusan Menteri Dalam Negeri dan didominasi intervensi Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Barat. "Keputusan itu juga melanggar asas kepastian hukum dan asas proporsionalitas," katanya.
Ujang memerinci maksud pelanggaran asas proporsionalitas dalam pengambilan keputusan Dewan yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Garut petang kemarin. Keputusan tersebut mengabaikan aspirasi massa pendukung Aceng.
"Karena hanya mempertimbangkan aspirasi massa 35 persen ditambah massa dari luar Garut yang kontra Bupati. Sedangkan aspirasi 65 persen masyarakat yang pro-Pak Bupati diabaikan," katanya. "Angka 65 persen dan 35 persen itu kan hasil jajak pendapat di media."
Ujang menambahkan, keputusan Dewan kemarin petang belum mengikat karena masih harus melalui proses hukum di Mahkamah Agung. "Jadi, sebelum Mahkamah Agung memutuskan, kami tempuh proses gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara," ujarnya.
Ujang mengaku kini tengah merampungkan berkas gugatan ke PTUN Bandung tersebut. "Rencananya, kami daftarkan segera ke PTUN pada hari kerja nanti setelah liburan hari Natal," katanya.
Ujang juga mengatakan, kliennya merasa dizalimi atas keputusan dan pandangan tujuh fraksi DPRD Garut. Aceng, kata dia, merasa diperlakukan Dewan dengan penuh kebencian. "Dia merasa keputusan itu dikeluarkan Dewan karena rasa kebencian," kata Ujang.
Alasannya, menurut Ujang, keputusan itu dibuat tanpa pembuktian dan parameter yang jelas sebagaimana mestinya di negara hukum. Aceng tak merasa melanggar etika maupun Undang-Undang Perkawinan.
"Dia bukannya tidak mendaftarkan, tapi belum mendaftarkan perkawinan itu ke Kantor Urusan Agama karena keburu menceraikan ( Fany Octora) melalui SMS (layanan pesan pendek)," katanya. Karena belum mendaftar, Ujang menambahkan, berarti kliennya belum bisa dikenai Undang-Undang Perkawinan.
"Artinya, dia belum bisa dianggap melanggar Undang-Undang Perkawinan. Pak Bupati juga tidak melanggar etika karena dalam agama (Islam) nikah siri diperbolehkan. Dalam teori hukum pun, hukum agama lebih tinggi daripada etika dan hukum perundangan," ujar Ujang.
"Keputusan itu tak adil buat Bupati. Kami akan memohon PTUN untuk menyatakan keputusan itu cacat hukum, karenanya harus batal demi hukum, dan agar Dewan mencabut keputusan itu," ujar Ujang Suja'i Toujiri, kuasa hukum Aceng, di Hotel d'Batoe, Kota Bandung, Jumat malam, 21 Desember 2012.
Ujang menjelaskan, keputusan Dewan tak adil karena isinya cuma meniru keputusan Menteri Dalam Negeri dan didominasi intervensi Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Barat. "Keputusan itu juga melanggar asas kepastian hukum dan asas proporsionalitas," katanya.
Ujang memerinci maksud pelanggaran asas proporsionalitas dalam pengambilan keputusan Dewan yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Garut petang kemarin. Keputusan tersebut mengabaikan aspirasi massa pendukung Aceng.
"Karena hanya mempertimbangkan aspirasi massa 35 persen ditambah massa dari luar Garut yang kontra Bupati. Sedangkan aspirasi 65 persen masyarakat yang pro-Pak Bupati diabaikan," katanya. "Angka 65 persen dan 35 persen itu kan hasil jajak pendapat di media."
Ujang menambahkan, keputusan Dewan kemarin petang belum mengikat karena masih harus melalui proses hukum di Mahkamah Agung. "Jadi, sebelum Mahkamah Agung memutuskan, kami tempuh proses gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara," ujarnya.
Ujang mengaku kini tengah merampungkan berkas gugatan ke PTUN Bandung tersebut. "Rencananya, kami daftarkan segera ke PTUN pada hari kerja nanti setelah liburan hari Natal," katanya.
Ujang juga mengatakan, kliennya merasa dizalimi atas keputusan dan pandangan tujuh fraksi DPRD Garut. Aceng, kata dia, merasa diperlakukan Dewan dengan penuh kebencian. "Dia merasa keputusan itu dikeluarkan Dewan karena rasa kebencian," kata Ujang.
Alasannya, menurut Ujang, keputusan itu dibuat tanpa pembuktian dan parameter yang jelas sebagaimana mestinya di negara hukum. Aceng tak merasa melanggar etika maupun Undang-Undang Perkawinan.
"Dia bukannya tidak mendaftarkan, tapi belum mendaftarkan perkawinan itu ke Kantor Urusan Agama karena keburu menceraikan ( Fany Octora) melalui SMS (layanan pesan pendek)," katanya. Karena belum mendaftar, Ujang menambahkan, berarti kliennya belum bisa dikenai Undang-Undang Perkawinan.
"Artinya, dia belum bisa dianggap melanggar Undang-Undang Perkawinan. Pak Bupati juga tidak melanggar etika karena dalam agama (Islam) nikah siri diperbolehkan. Dalam teori hukum pun, hukum agama lebih tinggi daripada etika dan hukum perundangan," ujar Ujang.
Post a Comment
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan.